1.Arafat AHC
SemusimKenangan
#semusim kenangan yang bergelanyut pada genangan
kita masih setia menanti kering yang enggan melanda
lampion-lampion tenggelam pada asa
belum tuntas mendewasakan diri
#semusim kenangan di musim kesedihan
sebab kesedihan adalah perjudian
pergenangan menewaskan air mata
anak-anak memainkannya.
di selangkangan penuh genangan
#semusim kenangan di desa tenggelam
kita menyanyikan lagu sendu
aiyah, sumpahsumpah kita menyampah pada rumah
karam oleh air mata dan kesedihan
mula tercipta keberingasan dan kerakusan berhala diri
buku-buku sebanjir muka merah kita
# semusim kenangan yang tertulis di catatan harian kesedihan
pertikaian
keegoisan
kesombongan
kitaambangkan pada genangan
kesedihan ini perjudian lalu telah kita pasang di bandar seberang
Semarang-Demak, Jumadil Akhir1434 H
Ruang Kelas Tak Menghadirkanmu
Pada pijar lampu yang menggigil.Tiap waktu, tangan-tangan memanggil. Kamu yang terlalu abstrak untuk kupresentasikan. Dan kawan-kawan berlari mengejar pertanyaan. Dimana jawaban,yang telah ku simpan di lacimu? Kau dimana?
Kau tak pernah hadir setiap kaliaku mempresentasikan namamu. Lalu bagaimana kawan-kawan bisa mengakhirkanpertanyaannya. Sedangkan kau tak nampak, disaat aku begitu berharap padamu.
Di lacimu, selalu ku absen daftarisi lacimu. Pertanyaan lagi, lagi-lagi pertanyaan yang melambaikan tangansambil bertanya-tanya lagi. Laci-laciku makin menumpuk oleh pertanyaan yang taktuntas kita jawab. Lalu bagaimana aku mempresentasikanmu?
Kau dimana?
Aku berkali-kali memanggilnamamu, memanggil baumu, memanggil kata-katamu. Bukan kau yang hadirmenyampaikan jawaban. Tapi pertanyaan terus melambaikan tanganmemanggil-manggil kita.
Kau terlalu abstrak untuk kupresentasikan, jika kau tak hadir di sini. Menemani kegelisahan yang bercakapria dengan pertanyaan-pertanyaan.
Ngaliyan, Dzulhijjah 1433 H
sumber : Suara Merdeka,26 Mei 2013
2.Sholichudin Al Gholany
Haruskah kami berkumpul seperti kala itu
Menyaksikan kobaran api yang menjemu
Membludak kemana-mana dari mulut ambisius-ambisius dungu
Yang ingin menyetir peradaban yang tak lagi bisu
Begitu pintarnya kau menyulutkan api
Di tengah kota, di jalan-jalan, di pasar, di sawah, bahkan di warung kopi
Cukup menyumpelkan selembar janji
Namamu hangat meresap manis dalam seduhan secangkir kopi
Adu domba
Ya, itulah kami
Selembar janji yang cukup mengoyak nurani
Selembar janji yang jadi cemeti
Menggiring kami ke dalam kombong mimpi
Akan kesejahteraan anak-anak kami
Hoho…
Tah kami yang dungu?
Malam beku, bulan begitu kaku
Setelah seharian diguyur pilu
Serangkaian tanya yang membuat ngelu
Tentang perandaian ini itu
Tentang perjalanan seorang sufi
Tentang peci, tasbih dan ayat suci
Tentang langit dan semedi
Inikah sebuah jalan?
Aku sudah terlalu menepi
Di dangkal ajining pekerti
Kudus, 10.01.2012
Sumber : https://www.facebook.com/notes/sholichudin-al-gholany/
3. Bagus Burham
4.M.Kholilurrohman
SemusimKenangan
#semusim kenangan yang bergelanyut pada genangan
kita masih setia menanti kering yang enggan melanda
lampion-lampion tenggelam pada asa
belum tuntas mendewasakan diri
#semusim kenangan di musim kesedihan
sebab kesedihan adalah perjudian
pergenangan menewaskan air mata
anak-anak memainkannya.
di selangkangan penuh genangan
#semusim kenangan di desa tenggelam
kita menyanyikan lagu sendu
aiyah, sumpahsumpah kita menyampah pada rumah
karam oleh air mata dan kesedihan
mula tercipta keberingasan dan kerakusan berhala diri
buku-buku sebanjir muka merah kita
# semusim kenangan yang tertulis di catatan harian kesedihan
pertikaian
keegoisan
kesombongan
kitaambangkan pada genangan
kesedihan ini perjudian lalu telah kita pasang di bandar seberang
Semarang-Demak, Jumadil Akhir1434 H
Ruang Kelas Tak Menghadirkanmu
Pada pijar lampu yang menggigil.Tiap waktu, tangan-tangan memanggil. Kamu yang terlalu abstrak untuk kupresentasikan. Dan kawan-kawan berlari mengejar pertanyaan. Dimana jawaban,yang telah ku simpan di lacimu? Kau dimana?
Kau tak pernah hadir setiap kaliaku mempresentasikan namamu. Lalu bagaimana kawan-kawan bisa mengakhirkanpertanyaannya. Sedangkan kau tak nampak, disaat aku begitu berharap padamu.
Di lacimu, selalu ku absen daftarisi lacimu. Pertanyaan lagi, lagi-lagi pertanyaan yang melambaikan tangansambil bertanya-tanya lagi. Laci-laciku makin menumpuk oleh pertanyaan yang taktuntas kita jawab. Lalu bagaimana aku mempresentasikanmu?
Kau dimana?
Aku berkali-kali memanggilnamamu, memanggil baumu, memanggil kata-katamu. Bukan kau yang hadirmenyampaikan jawaban. Tapi pertanyaan terus melambaikan tanganmemanggil-manggil kita.
Kau terlalu abstrak untuk kupresentasikan, jika kau tak hadir di sini. Menemani kegelisahan yang bercakapria dengan pertanyaan-pertanyaan.
Ngaliyan, Dzulhijjah 1433 H
sumber : Suara Merdeka,26 Mei 2013
2.Sholichudin Al Gholany
SELEMBAR JANJI DI WARUNG KOPI
Menyaksikan kobaran api yang menjemu
Membludak kemana-mana dari mulut ambisius-ambisius dungu
Yang ingin menyetir peradaban yang tak lagi bisu
Begitu pintarnya kau menyulutkan api
Di tengah kota, di jalan-jalan, di pasar, di sawah, bahkan di warung kopi
Cukup menyumpelkan selembar janji
Namamu hangat meresap manis dalam seduhan secangkir kopi
Adu domba
Ya, itulah kami
Selembar janji yang cukup mengoyak nurani
Selembar janji yang jadi cemeti
Menggiring kami ke dalam kombong mimpi
Akan kesejahteraan anak-anak kami
Hoho…
Tah kami yang dungu?
NGELU
Malam beku, bulan begitu kaku
Setelah seharian diguyur pilu
Serangkaian tanya yang membuat ngelu
Tentang perandaian ini itu
Tentang perjalanan seorang sufi
Tentang peci, tasbih dan ayat suci
Tentang langit dan semedi
Inikah sebuah jalan?
Aku sudah terlalu menepi
Di dangkal ajining pekerti
Kudus, 10.01.2012
Sumber : https://www.facebook.com/notes/sholichudin-al-gholany/
3. Bagus Burham
Mazmur Hujan
ke mata kita,adakah yang
lebih sahih
selain cara hujan
mengungkapkan rindu
turun membunyikan atap-atap
lampau.
ruangku,buku-buku terbangun
membuka
halaman-halaman sabana yang
hijau
dan kalimat-kalimat
avontur,menyelingi
suara gaduh gerimis di luar
jendela.aku lalai.
segala kangen menahun dalam
gugur
daun-daun
akasia.ranting-ranting januari
merambah musim demi
musim.ada yang
kurang terjamah sedemikian
lama.sebab
foto album cuma bisa
memerangkapnya
ke bahu kita,turun kegaliban
sisa cahya
menerawangi langit-langit
seakan gelap
adalah akhir yang menelan
semuanya
“sebatang lilin tunaikan
terang.
seribut hujan mendaulat
sepi”
Ikan dalam Botol
kenangankah,kian bising di
bulan-bulan paling hujan.
di kolam-kolam sisik almanak
yang lapuk terlepas.gugur
gerimis terjatuh lewat
langit menggeraki awan-awan
hitam.mendungseperti pontang-panting
hendak turun
ke bawah melewati atap-atap
rumah,sekian waktu untuk
terjamah
aku harus menyelamatkan
cupang-cupang dari pasar.
sebelum kegembiraan
bertarung dalam arena ember
seperti coloseum para
gladiator.menyelamatkan warna-
warna yang tergigit
warna-warna lain;kehendak berubah
-ubah yang menjadikan masa
kanakku pelangi
kepolosan hujan adalah ia
menerima dengan gembira,
dijatuhkan dari langit maha
tinggi ke bumi maha rendah,
lenyap ditelan liang tanah.semoga
ikan-ikan berpesta
di usia lampau yang
merayakannya
Cara Lain Membunuhku
Sudahkah menjadi suratan hati?
Tuk bunuh hati tanpa belati
Sebab ilusi
Ku jadi yang tersakiti
Aku mulai bingung bersenandung
Sebab kabar dingin dari balik kerudung
Yang kian menuntunku ke arahnya
Ke pulau lain yang ada dirinya
Sang idaman maharaja
Kabar dingin kau beri lagi
Hingga tercipta lapisan tipis air yang rapuh
Di atas samudra yang pisahkan kita
Sudahkah menjadi suratan hati?
Tuk buat aku berani berharap tinggi
Akan tubuh ringan, jika es tipis kupijaki
Tuk buat aku berani berlari lari
Dengan cara yang tak Dia sukai
Benarkah setega itu?
Caranya menenggelamkanku
Caranya bekukan darahku
Dan caranya hentikan tirta hatiku
Benarkah setega itu?
Caranya membunuhku
Dan benarkah yang itu,
Sudah menjadi suratan kalbu?
“Sekadar Aku”, yang Menuggu Sapa
Angin paruku berhembus sederhana
Saat jiwa tak mengenal tulang iga
Aku mematung, terpikir akan beruntung
Tapi malah terkatung
Di sini
Ku layangkan berjuta harapan untuk satu sapaan
Ku benamkan berjuta kegelisahan untuk satu
senyuman
Dalam diam dan penantian
Mungkin karena aku hanya sekadar
Sekadar kumpulan sisa pasir
Sekadar debu batu yang mengeras
Sekadar kucuran air
Dan sekadar aku
Ratapan Batu Hitam
Simpan Gemerlap Mutiara itu
Peluklah dengan kelopakmu
Batu hitam ini hanya mampu meratap
Mengaduh akan sebuah jarak
Tersenyumlah, karena aku akan segera pergi
Getir tak akan sesemerbak hari lalu
Dan,
Badaimu adalah ulahku
Maka, aku harus berlalu
Meski takut rindu melapuk-ku