PAK TUA DAN CICAK-CICAK DI DINDING(Radar Surabaya,6 Juli 2014)
cerpen : Bagus Burham
“Dancuk!” seru Pak Warsito sambil merasa keparat tak bisa meludahi kepala seekor cicak di dekat jam dinding. Ruangan yang berfungsi sebagai kamar tidur itu jelas tidak menyerupai tempat tidur yang layak bagi orang lanjut usia sepertinya. Buku-buku mengelilingi sebuah tikar seperti ritual dengan Pak Warsito berada di tengah-tengahnya. Ia akan memposisikan buku-buku itu seperti begitu meski harus merobohkan salah satu sisinya jika ada keperluan di luar kamar tidur istimewanya. Ia akan menata sambil menyerambulkan kata-kata ajaib seperti “asu” dan “dancuk”. Buku-buku yang sudah dikumpulkannya dari usia remaja sampai sekarang merupakan penggenapan cita-cita luhurnya kelak jika tanda-tanda kematian telah datang padanya : membakar semua buku tersebut.
Cita-cita itu sudah diangan-angankan Pak Warsito mulai ketika ia mengkoleksi buku pertama sampai buku kesekian. Sebab ia merasa bahwa buku-buku tidak pernah dibaca. Buku-buku di perpustakaan kotanya tidak ada yang menyentuh untuk membacanya. Daripada terlantar tidak ada yang mengurus lebih baik ia bakar dan mereka semua akan dirawat di sorga kelak dengan Pak Warsito sebagai penjaga dan pembacanya.
Cerita tentang Pak Warsito yang lebih khas lagi adalah kesenangannya meludahi cicak-cicak di dinding. Dengan tembakan air liur yang seperti pelor dilontarkan dari pistol,ia mampu menjatuhkan musuh-musuh di dinding itu. Rumah penuh bekas ludahannya di dinding-dinding,dan para warga hanya memaklumi hal tersebut sebagai tanda bahwa usia tua berdampak pada kondisi kejiwaan. “Suara cicak dan jam dinding selalu sama dan seperti mengejekku. Cicak dapat kubunuh,namun waktu tak bisa kubunuh—ia abadi.” Pak Warsito selalu menjawab segala pertanyaan tentang mengapa ia meludahi cicak-cicak di dinding dengan jawaban tersebut.
Sebenarnya seorang istri pernah dipunyai Pak Warsito namun sudah dua puluh lima tahun ia pergi tak tentu rimbanya. Tanpa kabar apapun,tanpa kejelasan apapun,ia pergi begitu saja. “Seseorang yang sudah mati di dalam hatiku.”
Sebatang kara hidup Pak Warsito hanya dihabiskan dengan membaca buku dan naik sepeda onthel mencari buku bekas di pasar-pasar loak. Selain sebagai petani dengan sepetak tanah berukuran dua puluh lima meter persegi saja yang entah karena apa selalu subur dan penuh dengan berbagai macam tumbuhan sayur. Pak Warsito dengan tubuh kurus dan kulit lentur yang sudah ditanggalkan kegagahan prianya,merasa bahwa tanah yang dimilikinya sudah dianugrahi karena ia seseorang yang rajin mencari ilmu dengan membaca. “Seperti kecambah yang selalu tumbuh subur,ilmupun memiliki khasiatnya pada lingkungan sekitar.”
***
Tembakan-tembakan ludah mulai dilancarkan Pak Warsito di dinding rumahnya. Malam hari setelah lirih suara adzan isya’ menggema. Dari doa yang dipanjatkan dan terkabulkan : segerombol cicak menempel dinding. Pak Warsito menembak dengan kecepatan luar biasa yang terlontar dari mulut ompongnya. Mulut yang sudah kendur karena kehilangan banyak gigi tetapi tetap semangat menghadapi cicak-cicak di dinding. Satu,dua dan tiga cicak terjatuh dan menggelepar dalam ramuan bacin air liur Pak Warsito. Kegembiraan yang dirayakan dengan tarian di atas mayat-mayatnya.
Jika sudah letih menembaki cicak-cicak di dinding,maka Pak Warsito akan rebah di kamarnya,mengejap-kejapkan matanya tanpa pernah bisa tidur karena insomnia akut yang telah ia derita selama tiga puluh tahun membuatnya selalu merindukan mimpi. Tapi hal aneh dari insomnia itu adalah bahwa ketika fajar sudah mulai nampak di langit,Pak Warsito seperti mendapat kekuatan baru meski tidak tidur. Keletihan sebagaimana orang yang memiliki penyakit itu tidak pernah ia rasakan walaupun sudah tidak tidur selama tiga puluh tahun lebih. Matanya seakan diperbarui dari hari ke hari padahal aktifitas membacanya membutuhkan fokus lebih dan melelahkan mata. Ajaibnya ia hanya membaringkan tubuh dua-tiga jam dan bangun tanpa keletihan yang membekas.
Ia selalu merasa bahwa semua cicak bersembunyi di belakang jam dinding dan memainkan sebuah koor yang menggodam telinganya dengan suara detak-detik sepanjang malam. Tapi berkali-kali ia ungkai bagian belakang jam dinding,tak juga ditemukan. Cicak-cicak seperti ditabur oleh seseorang dan tiba-tiba menempel di dinding. Serambul cicak akan ada begitu saja jika malam sudah menampak dan Pak Warsito merasa bahwa waktu adalah cicak itu sendiri yang terus berkembang biak agar kesenangan membunuhinya dapat terlampiaskan sebagai perasaan tak sanggup menaklukkan waktu itu sendiri.
***
Hari ini anehnya tak satupun cicak muncul di dinding seperti biasanya. Pak Warsito telah menunggu-nunggu hingga berjam-jam dari pagi sampai larut malam dan merasa kecewa. “Barangkali waktu telah menariknya dariku agar ia sendiri yang perlu melawanku,” pikir Pak Warsito. Cicak-cicak di dinding tiba-tiba menjadi sesuatu yang ia rindukan semalam itu lebih dari mimpi. Ia merasa sangat cemas;mondar-mandir mengamati dinding-dinding sampai fajar datang. Merasa ditipu ia putar balik jam dinding lebih cepat dua belas jam. Dengan begini malam akan lebih cepat datang. Memang benar,tiba-tiba langit seperti sudah pekat hitam meski waktu sebenarnya adalah tengah hari. Dan ajaib,cicak-cicak datang lagi untuk ditembaki peluru-peluru ludah Pak Warsito.
Semenjak jam di dindingnya diputar lebih,malam selalu datang awal dan berlangsung sangat lama yaitu mulai dari jam dua belas siang sampai fajar menggantikan. Orang-orang merasa ini akibat daripada pemanasan global yang diakibatkan oleh asap industri-industri kapital padahal ini adalah perbuatan waktu yang terkurung dalam jam dinding di kamar tidur Pak Warsito. Aksi menembak cicak-cicak di dinding tak surut dengan fenomena alam ini,bahkan tambah menggila dan makin jitu. Dalam satu kali percobaan menembak,langsung saja satu cicak terjatuh dan mampus. Bahkan kini Pak Warsito memiliki kehebatan memecah satu peluru ludah menjadi dua bagian yang mengenai dua sasaran. Entah karena keberpihakan udara di sekitar rumahnya atau magis apa. Sepersekian detik setelah air liur dilontarkan dari mulutnya,tiba-tiba saja memecah menjadi dua bagian yang langsung mengena sasaran. Tak pelak ratusan jiwa cicak-cicak di dinding melayang dalam sebuah adegan berdarah oleh koboi tua yang sudah mendapati tanda kematian pada dirinya yaitu ketangkasannya yang makin menjajam.
Sesuai dengan ikrarnya,ribuan buku kesayangan itu dibakar menjadi abu. Hatinya sudah tidak terbebani lagi dan kedamaian telah datang sebagai persiapan menghadapi kematian. Waktu yang menjemputnya akhirnya datang saat cicak-cicak yang menempel di dinding-dinding sudah tidak ada lagi. Ia baringkan tubuhnya di tikar tempat ia biasa merebah…dan memejam. Ia akhirnya dapat tidur. Tidur untuk selama-lamanya.
***
Hujan turun sudah delapan minggu di kota itu. Orang-orang hanya bisa mengumpat, berserapah sebab tak ada yang bisa dikerjakan untuk kehidupan mereka. Mereka mulai mencari-cari kesibukan dengan menadah air hujan untuk dibuang kembali atau membasuh rumah-rumah dengan air hujan meski hujan sudah membasahi rumah-rumah mereka. Orang-orang menganggur dan seseorang memiliki ide brilian yang diikuti orang-orang di kota itu,untuk meneruskan pekerjaan Pak Warsito yang dulu telah mereka lupakan: menembak cicak-cicak di dinding.
Orang-orang mulai berlatih mengatur kecepatan air liur mereka. Mengatur ketepatan dan ketersampaian ludah mereka pada dinding bagian atas. Mereka langsung menembaki cicak-cicak di dinding. Ratusan kali menembak hanya dua atau tiga cicak yang kena. Tak sehebat Pak Warsito yang mampu melakukan dengan ketepatan luar biasa. Orang-orang menembaki cicak-cicak di dinding dengan kegagalan yang diikuti sebuah serapah “dancuk”.Jika orang-orang menembak dalam waktu yang bersamaan maka akan terdengar sebuah koor pendek yang memanjang keras-keras dengan lirik “dancuk….” yang penuh amarah.