Minggu, 20 Juli 2014

Pak Tua dan Cicak-cicak Di Dinding

  PAK TUA DAN CICAK-CICAK DI DINDING(Radar Surabaya,6 Juli 2014)

cerpen : Bagus Burham

“Dancuk!” seru Pak Warsito sambil merasa keparat tak bisa meludahi kepala seekor cicak di dekat jam dinding. Ruangan yang berfungsi sebagai kamar tidur itu jelas tidak menyerupai tempat tidur yang layak bagi orang lanjut usia sepertinya. Buku-buku mengelilingi sebuah tikar seperti ritual dengan Pak Warsito berada di tengah-tengahnya. Ia akan memposisikan buku-buku itu seperti begitu meski harus merobohkan salah satu sisinya jika ada keperluan di luar kamar tidur istimewanya. Ia akan menata sambil menyerambulkan kata-kata ajaib seperti “asu” dan “dancuk”. Buku-buku yang sudah dikumpulkannya dari usia remaja sampai sekarang merupakan penggenapan cita-cita luhurnya kelak jika tanda-tanda kematian telah datang padanya : membakar semua buku tersebut.

Cita-cita itu sudah diangan-angankan Pak Warsito mulai ketika ia mengkoleksi buku pertama sampai buku kesekian. Sebab ia merasa bahwa buku-buku tidak pernah dibaca. Buku-buku di perpustakaan kotanya tidak ada yang menyentuh untuk membacanya. Daripada terlantar tidak ada yang mengurus lebih baik ia bakar dan mereka semua akan dirawat di sorga kelak dengan Pak Warsito sebagai penjaga dan pembacanya.

  Cerita tentang Pak Warsito yang lebih khas lagi adalah kesenangannya meludahi cicak-cicak di dinding. Dengan tembakan air liur yang seperti pelor dilontarkan dari pistol,ia mampu menjatuhkan musuh-musuh di dinding itu. Rumah penuh bekas ludahannya di dinding-dinding,dan para warga hanya memaklumi hal tersebut sebagai tanda bahwa usia tua berdampak pada kondisi kejiwaan. “Suara cicak dan jam dinding selalu sama dan seperti mengejekku. Cicak dapat kubunuh,namun waktu tak bisa kubunuh—ia abadi.” Pak Warsito selalu menjawab segala pertanyaan tentang mengapa ia meludahi cicak-cicak di dinding dengan jawaban tersebut.

Sebenarnya seorang istri pernah dipunyai Pak Warsito namun sudah dua puluh lima tahun ia pergi tak tentu rimbanya. Tanpa kabar apapun,tanpa kejelasan apapun,ia pergi begitu saja. “Seseorang yang sudah mati di dalam hatiku.”

  Sebatang kara hidup Pak Warsito hanya dihabiskan dengan membaca buku dan naik sepeda onthel mencari buku bekas di pasar-pasar loak. Selain sebagai petani dengan sepetak tanah berukuran dua puluh lima meter persegi saja yang entah karena apa selalu subur dan penuh dengan berbagai macam tumbuhan sayur. Pak Warsito dengan tubuh kurus dan kulit lentur yang sudah ditanggalkan kegagahan prianya,merasa bahwa tanah yang dimilikinya sudah dianugrahi karena ia seseorang yang rajin mencari ilmu dengan membaca. “Seperti kecambah yang selalu tumbuh subur,ilmupun memiliki khasiatnya pada lingkungan sekitar.”

***

Tembakan-tembakan ludah mulai dilancarkan Pak Warsito di dinding rumahnya. Malam hari setelah lirih suara adzan isya’ menggema. Dari doa yang dipanjatkan dan terkabulkan : segerombol cicak menempel dinding. Pak Warsito menembak dengan kecepatan luar biasa yang terlontar dari mulut ompongnya. Mulut yang sudah kendur karena kehilangan banyak gigi tetapi tetap semangat menghadapi cicak-cicak di dinding. Satu,dua dan tiga cicak terjatuh dan menggelepar dalam ramuan bacin air liur Pak Warsito. Kegembiraan yang dirayakan dengan tarian di atas mayat-mayatnya.
Jika sudah letih menembaki cicak-cicak di dinding,maka Pak Warsito akan rebah di kamarnya,mengejap-kejapkan matanya tanpa pernah bisa tidur karena insomnia akut yang telah ia derita selama tiga puluh tahun membuatnya selalu merindukan mimpi. Tapi hal aneh dari insomnia itu adalah bahwa ketika fajar sudah mulai nampak di langit,Pak Warsito seperti mendapat kekuatan baru meski tidak tidur. Keletihan sebagaimana orang yang memiliki penyakit itu tidak pernah ia rasakan walaupun sudah tidak tidur selama tiga puluh tahun lebih. Matanya seakan diperbarui dari hari ke hari padahal aktifitas membacanya membutuhkan fokus lebih dan melelahkan mata. Ajaibnya ia hanya membaringkan tubuh dua-tiga jam dan bangun tanpa keletihan yang membekas.

Ia selalu merasa bahwa semua cicak bersembunyi di belakang jam dinding dan memainkan sebuah koor yang menggodam telinganya dengan suara detak-detik sepanjang malam. Tapi berkali-kali ia ungkai bagian belakang jam dinding,tak juga ditemukan. Cicak-cicak seperti ditabur oleh seseorang dan tiba-tiba menempel di dinding. Serambul cicak akan ada begitu saja jika malam sudah menampak dan Pak Warsito merasa bahwa waktu adalah cicak itu sendiri yang terus berkembang biak agar kesenangan membunuhinya dapat terlampiaskan sebagai perasaan tak sanggup menaklukkan waktu itu sendiri.

***

Hari ini anehnya tak satupun cicak muncul di dinding seperti biasanya. Pak Warsito telah menunggu-nunggu hingga berjam-jam dari pagi sampai larut malam dan merasa kecewa. “Barangkali waktu telah menariknya dariku agar ia sendiri yang perlu melawanku,” pikir Pak Warsito. Cicak-cicak di dinding tiba-tiba menjadi sesuatu yang ia rindukan semalam itu lebih dari mimpi. Ia merasa sangat cemas;mondar-mandir mengamati dinding-dinding sampai fajar datang. Merasa ditipu ia putar balik jam dinding lebih cepat dua belas jam. Dengan begini malam akan lebih cepat datang. Memang benar,tiba-tiba langit seperti sudah pekat hitam meski waktu sebenarnya adalah tengah hari. Dan ajaib,cicak-cicak datang lagi untuk ditembaki peluru-peluru ludah Pak Warsito.

Semenjak jam di dindingnya diputar lebih,malam selalu datang awal dan berlangsung sangat lama yaitu mulai dari jam dua belas siang sampai fajar menggantikan. Orang-orang merasa ini akibat daripada pemanasan global yang diakibatkan oleh asap industri-industri kapital padahal ini adalah perbuatan waktu yang terkurung dalam jam dinding di kamar tidur Pak Warsito. Aksi menembak cicak-cicak di dinding tak surut dengan fenomena alam ini,bahkan tambah menggila dan makin jitu. Dalam satu kali percobaan menembak,langsung saja satu cicak terjatuh dan mampus. Bahkan kini Pak Warsito memiliki kehebatan memecah satu peluru ludah menjadi dua bagian yang mengenai dua sasaran. Entah karena keberpihakan udara di sekitar rumahnya atau magis apa. Sepersekian detik setelah air liur dilontarkan dari mulutnya,tiba-tiba saja memecah menjadi dua bagian yang langsung mengena sasaran. Tak pelak ratusan jiwa cicak-cicak di dinding melayang dalam sebuah adegan berdarah oleh koboi tua yang sudah mendapati tanda kematian pada dirinya yaitu ketangkasannya yang makin menjajam.

Sesuai dengan ikrarnya,ribuan buku kesayangan itu dibakar menjadi abu. Hatinya sudah tidak terbebani lagi dan kedamaian telah datang sebagai persiapan menghadapi kematian. Waktu yang menjemputnya akhirnya datang saat cicak-cicak yang menempel di dinding-dinding sudah tidak ada lagi. Ia baringkan tubuhnya di tikar tempat ia biasa merebah…dan memejam. Ia akhirnya dapat tidur. Tidur untuk selama-lamanya.

***

Hujan turun sudah delapan minggu di kota itu. Orang-orang hanya bisa mengumpat, berserapah sebab tak ada yang bisa dikerjakan untuk kehidupan mereka. Mereka mulai mencari-cari kesibukan dengan menadah air hujan untuk dibuang kembali atau membasuh rumah-rumah dengan air hujan meski hujan sudah membasahi rumah-rumah mereka. Orang-orang menganggur dan seseorang memiliki ide brilian yang diikuti orang-orang di kota itu,untuk meneruskan pekerjaan Pak Warsito yang dulu telah mereka lupakan: menembak cicak-cicak di dinding.

Orang-orang mulai berlatih mengatur kecepatan air liur mereka. Mengatur ketepatan dan ketersampaian ludah mereka pada dinding bagian atas. Mereka langsung menembaki cicak-cicak di dinding. Ratusan kali menembak hanya dua atau tiga cicak yang kena. Tak sehebat Pak Warsito yang mampu melakukan dengan ketepatan luar biasa. Orang-orang menembaki cicak-cicak di dinding dengan kegagalan yang diikuti sebuah serapah “dancuk”.Jika orang-orang menembak dalam waktu yang bersamaan maka akan terdengar sebuah koor pendek yang memanjang keras-keras dengan lirik “dancuk….” yang penuh amarah.



Cerita Tentang Esensi yang Mendahului Eksistensi

-catatan selepas baca


            Di sebuah hari malas seperti hari-hari saya lainnya,tangan saya mencari sebuah buku lama di rak untuk nostalgia membaca. Buku-buku yang saya cintai melebihi kecintaan saya pada diri,terus memanggil nama saya dan waktu terus berputar seperti ingin membunuh jaman. Kemudian pilihan itu jatuh kepada sebuah buku warna kuning dengan sampul bergambar Joker.Buku berjudul "Misteri Soliter" karya Jostein Gaarder. Hal yang membuat saya menyukai kisah ini bukan saja dari takdir yang dijalani bocah kecil dari Norwegia yang mencari Bundanya di dunia mode Yunani,tetapi lebih kepada seorang pelaut tua yang tersesat di pulau ajaib dan menjadi "Tuhan" bagi kartu reminya sendiri. 52 kartu yang awalnya diangan-angankan sebagai manusia,kini berubah jadi hidup senyata manusia. Dalam sebuah kesepian,pikiran bisa terfokus pada khayalan. Dan kesepian Frode membuat kartu-kartunya hidup.Esensi (sebuah idea) yang melahirkan eksistensi mahluk dalam cerita karangan Gaarder tersebut adalah metafora dari (kerja) Tuhan.

            Hal tersebut adalah kebalikan dari diktum sang filsuf raksasa-Jean Paul Sartre. Ya,memang ini cuma sekadar novel surreal yang menceritakan tentang petualangan bocah kecil di sepanjang Alpen dalam perjalanan mencari Bundanya,tetapi lebih dari itu Gaarder mencoba mengira-ngira apa yang dilakukan oleh Tuhan(bagi mereka yang percaya) sebelum menciptakan kita dengan perumpamaan si pelaut tua yang mencintai gagasan bahwa kartu-kartu reminya hidup di dalam alam ideanya. Konklusinya adalah bahwa Tuhan berpikir sebelum menciptakan kita. Mungkin penciptaan itu ia renungkan dalam tempo sesingkat-singkatnya sebelum ia berkata, "jadilah!" Seperti kasus Frode yang mencintai angan-angan bahwa kartu-kartu reminya hidup dan menemani kesepiannya di pulau ajaib dimana ia tidak bisa menembus keluar pulau.Barangkali Tuhan gembira bahwa sesuatu yang bermula dari gagasan(kata) kini menjadi mahluk yang bernama manusia.

           Apakah Tuhan pernah terkejut ketika ciptaannya bisa menyusun dan memberontak kepadaNya. Dan itu diumpamakan Gaarder sebagai sosok Joker. Joker yang bukan dari golongan Wajik,Sekop,Hati ataupun Keriting,memilih memberontak agar abadi. Joker adalah seorang eksistensialis. Etre en soi yang kini mengobjekkan dunia menjelma etre pour soi dalam bahasa Sartre. Joker yang sebelumnya merupakan sesuatu atau mahluk yang diobjekkan Tuhannya(Frode) memilih memberontak dan membunuh tuannya dalam artian 'Tuhan telah mati." Memilih bebas sebebas-bebasnya. Dan inti dari eksistensialisme adalah mengenyahkan mauvaise foi(keyakinan yang buruk) dalam artian percaya pada Tuhan. Manusia total bebas tak mungkin berpegangan dengan keyakinan kecuali dirinya sendiri ;begitulah Sartre pahamkan pada kita. Di buku "Misteri Soliter" sang eksistensialis Joker memang memberontak untuk meraih dunianya sendiri dari Tuhannya yaitu Frode dengan impian ingin melihat dunia luar(dunia di luar pulau ajaib dimana Frode jadi pencipta dan kartu-kartu dihidupkan). Ia tidak mempunyai keyakinan akan Penguasa di atasnya karena ia sendiri hidup mengada dan barangkali eksistensinya mendahului esensi dari diri itu sendiri. Ia sudah berada bagi dirinya meski sebelumnya ia tunduk pada Tuhannya.
  
                

Pertanyaan yang Abadi

-sebuah cerpen asal-asalan- 
ide cerita : Haruki Murakami,George Orwell 
oleh : Bagus Burham 

           Sepasang suami-istri setengah baya tampak sedang ngomel-ngomel di depan penjaga usang di gerbang gedung tua yang sepertinya sudah akan runtuh. Dari jauh, kata-kata yang kutangkap ada ; “pembunuh” , “edan” , “kupecahkan kepalamu!”.

           Dari sini, mereka seperti segumpal noda yang melekat di jalan. Aku tengah bersantai sambil mencatat karakter mobil-mobil yang lewat di jalan. Yah, kesukaan yang aneh; mencatat mobil-mobil yang lewat di jalan. Semisal mobil sedan itu warnanya hitam, sepasang ban depan dengan pelek mengkilap dan terkesan pemiliknya menjaga betul mobil itu sampai terlihat bagus dan nyaman.

Suami-istri itu bergerak menjauhi gerbang, sekarang malah menuju tempatku bersantai. Semakin dekat, mereka tampak seperti orang-orang yang sungguh harus diberi perhatian. Wajah sang Suami memang tampan,tapi ada sebuah lubang hitam besar di atas dahinya. Seakan itublack hole di angkasa. Sementara sang Istri memang biasa saja tapi yang ganjil dari tubuh kurusnya adalah sepasang buah dada sebesar semangka,yang terkesan ia memikul berat yang tak sesuai dengan daya tubuhnya.

Angin membawa debu dan terik menyengat. Untungnya sebatang pohon besar tempatku bersandar menaungi tubuhku dari panas. Siang yang sungguh panas. Pasangan tadi sudah sampai di depanku. Tiba-tiba berkata, “Kau sudah berapa lama di sini?” kata si Suami.

Aku hanya menjawab, barusan saja. Orang itu terus menatapku. “Apa yang kau lihat?” ia bertanya lagi. Aku bilang bukan apa-apa. Sebenarnya memang benar, aku melihat dada istrinya yang tidak proporsional dengan tubuh kecilnya.

Suara keras mobil saling menubruk terjadi selang beberapa menit kami berdiam tanpa kata. Di depan kami, angkutan warna putih dengan sedan. Para penumpang angkutan turun dan pindah lain angkutan. Pengendara sedan itu marah-marah dengan kata-kata awut-awutan yang menyerambul dari mulutnya. Pengemudi angkutan hanya terdiam. Dan di langit sepasang piring terbang lewat sebegitu cepatnya sampai sekedip mata sudah lenyap.

Aku tidak beranjak dari tempat santaiku. Begitu pula Suami-Istri yang masih saja berdiri di depanku. Si Istri dari tadi hanya diam dan si Suami dengan mata jelalatan terus mengamatiku. Edan! Apa yang ia inginkan?
***
Aku tersadar. Tempat ini gelap dan hanya terdiri dari beberapa jendela dan kipas angin menggantung. Tanganku terikat dan mulutku diplester. Aku menjerit sekuat-kuatnya tetapi hanya terdengar gumaman saja. Dari kegelapan di depanku, suara derap kaki orang lebih dari satu semakin mendekat. Kurang ajar! Ternyata sepasang Suami-Istri tadi. Dengan senyum aneh tersungging di wajah si Suami, ia menenteng kerahku erat-erat. “Katakan, apa yang kamu ketahui?” katanya. Perasaanku bingung. Apa yang kuketahui? Aku tidak tahu. Aku tadi hanya duduk bersantai di bawah sebuah pohon, mengamati mobil yang lewat, dan menyaksikan kecelakaan. Apa yang kuketahui?

Ia melepas penutup mulutku. Sekali lagi bertanya tentang apa yang kuketahui. Aku menjawab tidak tahu apa-apa. Sekali lagi ia bertanya apa yang kuketahui. “Aku tidak tahu apa yang kau maksud dengan apa yang kuketahui.” 

“Apa yang kau ketahui? Jelas, katakan!” pertanyaan si Suami terus membentur telingaku.

“Aku tidak tahu apapun. Aku tadi hanya bersantai di bawah pohon. Kumohon lepaskan aku…”

Dengan pentung hitam seperti yang dimiliki satpam-satpam, si Suami memukuliku lantas bertanya seperti tadi. Aku tidak bisa menjawab. Apa yang kuketahui dan apa yang ingin dia tahu tentang yang kuketahui sementara aku tidak menahu apa maksudnya.

Edan! Tiba-tiba dari sepasang buah dada si Istri keluar orang-orang kecil seukuran jari tengah. Sekitar sembilan orang kecil keluar dan seakan balon udara yang sudah turun dan mengempis, buah dada itu menyusut dan lenyap. Kini aku tidak harus memikirkannya. Yang selanjutnya adalah apa orang kecil itu?

Orang-orang kecil memutariku, serentak bertanya seperti si Suami tanyakan tadi. Pikiranku kacau melihat orang-orang kecil seakan aku adalah pusat ritual dari upacara yang mereka adakan. Di pikiranku terlintas semua hal yang kusaksikan pagi ini sebelum akhirnya bersantai di bawah pohon pada siang yang terik : seorang gadis dengan lekuk tubuh yang bagus di kantor pos, seorang nenek dengan kebungkukan yang mengibakan hati di tepi jalan, mobil-mobil, bayi dalam kulkas di sajak Joko Pinurbo, botol-botol tak terpakai menuju penggilingan jadi biji plastik hingga dua piring terbang melintas cepat di langit, sepasang suami-istri dengan kejanggalan dan tempat di mana aku kini berada.

Aku tidak tahu apapun.
***
“Mobil-mobil yang kuamati! Itulah yang kuketahui.”

“Apa yang kau ketahui?” masih pertanyaan yang sama si Suami terus mendesakku.

“Hanya itu. Aku tidak tahu apapun.”

Dan kehidupan terus berjalan. Di tempat penyekapan ini aku tidak tahu apapun. Orang-orang kecil, si Suami dan si Istri dengan dada yang hilang. Terus-menerus menyiksaku. Yang dilakukan orang-orang kecil masih tetap sama, tanpa berhenti, tanpa jeda: memutariku seakan aku adalah pusat ritual. Apakah ini malam, ataukah siang, aku tidak tahu. Yang kutahu hanyalah usaha untuk menjawab pertanyaan si Suami tentang apa yang kuketahui.

Aku ingin memecahkan kepalaku saja. Meledak dan tidak ada! Kurang ajar!

Orang-orang kecil tak bertambah besar. Semenjak keluar dari buah dada semangka itu, mereka hanya terus memutariku. Bentuk mereka sama semua. Dengan topi kerucut warna hijau dan wajah suram plus senyum aneh seperti yang dipunyai si Suami. Mereka memutariku terus-menerus. Seperti robot yang patuh pada perintah majikannya. Semenjak aku disekap,si Istri tidak pernah berbicara hanya terus menyiksaku secara brutal. Kelaparan, kehausan, rasa ingin kencing dan berak, tidak kurasakan. Seperti sebuah keabadian atau adegan yang diulang-ulang tentang apa yang telah kuketahui yang ingin si Suami ketahui. Aku tidak merasakan apapun selain rasa sakit dan menyerah dari siksaan pertanyaan dan pemukulan yang dilakukan.

***

Aku terbangun dengan kepala pening dan sekujur tubuh sakit bukan main. Masih dengan tali yang mengikat, aku tertinggal sendiri di ruang hampa ini. Orang kecil dan Suami-Istri tadi barangkali  meninggalkanku untuk bernafas sejenak dan bersiap mendapat siksaan atas apa yang kuketahui padahal semua jawabanku sudah jujur kukatakan pada mereka bahwa: aku tidak tahu apa-apa tentang apa yang ingin mereka ketahui.

Kuurutkan kejadian lampau yang kuamati. Entah sudah berapa lama aku disini. Seperti manusia gua dengan bulu lebat di wajah, dan pakaian compang-camping, aku mendekam dalam keabadian penyiksaan.

Mungkin kata-kata mereka kepada penjaga yang kudengar -- “pembunuh” , “edan” , “kupecahkan kepalamu” – adalah yang kutahu akan kusampaikan, bahwa hipotesisku adalah mereka ingin menuntut balas pada penjaga gedung tua yang kuamati itu. Kematian apapun yang ingin mereka balaskan. Tapi mengapa mereka hanya berteriak-teriak dengan patung penjaga gedung yang sudah terkelupas catnya itu, aku tidak tahu. Sebuah patung berdiri tegak seolah menunggu dengan khidmat gedung tua dari waktu ke waktu.

Atau sepasang piring terbang yang melintas. Mereka ketinggalan. Mereka adalah alien? Bumi mereka dihancurkan sekarang ingin menghancurkan bumiku? Lalu apa yang harus kukatakan tentang piring terbang itu. Aku harus bersaksi bahwa aku melihat pesawat mereka dan mereka menyuruhku untuk bungkam. Maka dengan senang hati aku akan bungkam. Lepaskan aku. Aku akan diam selamanya seolah tidak melihat apa-apa.

Kepalaku digodam pertanyaan itu berkali-kali. Pusing dan denging memukul-mukul telingaku seperti ingin menerobos gendang telinga dan mengoyak syaraf-syaraf di dalamnya. “Apa yang kau ketahui? Apa yang kau ketahui?” Pertanyaan gila yang menyiksaku.

Dari jauh lorong tempatku disiksa, gaung pertanyaan itu muncul lagi. Dan sosok yang sudah akrab, datang menjemput korbannya.

“Apa yang kau ketahui?” si Istri tanpa dada, membuatku takjub dengan kalimat pertama yang diucapkannya kali ini.

Orang kecil berhamburan dari arah lorong, ikut menanyaiku. Peluru-peluru pertanyaan menembaki telinga dan otakku. Seperti hujan mengetuk kaca dengan intensitas yang deras dan lama, pertanyaan tersebut mengucur tanpa jeda. Sampai aku tak bisa menjawab. Aku terdiam, mendekam dalam sakit siksaan.

“Ini pistol, dengan peluru pertanyaan yang harus kami tembakkan kepadamu.” Sambil menunjuk mulutnya dengan jari tengah, seakan mengerti isi hatiku, si Suami menegaskan untuk mengorek pikiranku tentang apa yang kuketahui.

Hujan pertanyaan sudah berhenti. Kini mereka menungguku untuk menjawab.

Sambil kesusahan aku menjawab pertanyaan mereka. “Kalian menyuruhku bungkam tentang piring terbang yang mencari kalian melintas di langit. Kalian sepasang alien dengan robot-robot mini. Itulah yang kutahu.”

“Bukan.Bukan itu. Apa yang kau ketahui?” ulang lagi pertanyaan si Suami.

“Bukan? Berarti pasti patung penjaga gedung yang membunuhsesuatu milik kalian? Itulah yang kutahu,” jawabku.

“Tidak.Tidak itu.Apa yang kau ketahui?” kembali si Suami bertanya padaku.

Bukan piring terbang ataupun penjaga gedung. Lantas apa lagi. Aku tidak tahu apapun. “Kumohon lepaskan aku. Aku akan diam saja tentang kalian dan mahluk aneh kalian.” Airmataku berlelehan, merengek seperti bocah yang selalu menangis dan tidak dipedulikan siapapun.

“Tidak bisa,” si Istri mulai berkata lagi. 

***

Kehampaan dan kegelapan bersatu dengan samar cahaya di ruang ini. Sendirian dan kian menyusut untuk dilupakan, aku terus hidup dalam kesakitan.

Aku hanya mampu meronta dan berteriak sekuat-kuatnya. Mungkin saja dengan berteriak orang lain entah di mana sanggup mendengar teriakanku dan mulai mencari diriku. Pemukulan terus mereka lakukan terhadap tubuh ini. Aku pingsan kembali tersadar, pertanyaan yang sama; penyiksaan yang sama. Berulang-ulang dengan tujuan mengorek informasi tentang apa yang kutahu. Sungguh padahal aku tak tahu apapun.
“Apa yang kau ketahui?” tanya si Suami, tersenyum licik dengan semangat ingin menyiksa lagi.
Aku membisu. Menatap balik dengan senyum licik menuju kematian yang tidak kutahu kapan, tapi pasti datang ke sini. []

Sabtu, 10 Mei 2014

Sepenggal Akasia



aku ranting akasia terpelanting ke tubuh sucimu.yang berisi adalah kosong sementara kekosongan selalu berisi.aku mengunyah kulit udara dan serkah ke pangkuanmu semut-semut merayap padakau dari lebar tanganku menjembatani diriku-dirimu oleh semut-semut.barangkali kematian sejengkal tanah yang menidurkan tubuhku,adalah benih tumbuh tersurat ke dalam aku yang memecut keperkasaan menjamah sekian udara dari nasib bulan-bulan.

langit biru masih bermimpi kemarau panjang,melecut tubuhku garing oleh terpaan matari.engkau doa-doa melayang yang jatuh di bawah pohon,menemukan secercah keyakinan
melarung mangkuk ke sungai dan bersumpah ini benar adanya.aku bukanlah bodh gaya tetapi setiap pohon adalah keberkahan yang ditujukan pada tubuhmu untuk istirah

meyakinkan bahwa kehidupan dan kematian secepat rontok daun-daun dan tumbuhnya pohon baru.

bagus burham

Minggu, 23 Februari 2014

Merayakan Seni dalam Kampung


MERAYAKAN KESENIAN KAMPUNG

Pada tanggal 15 Februari 2014,diadakanlah untuk yang pertama kalinya Seni Kampung yang nantinya akan terus diadakan setiap satu bulan sekali di beberapa kecamatan. Visi Seni Kampung adalah mengembalikan kesenian di kampung. Jika sekarang arus modernitas menggerus kebudayaan lama dengan berbagai cara dari ;musik,tutur bicara,dan tontonan maka tugas diadakannya kesenian di desa-desa adalah sebagai pengingat kembali bagaimana kebudayaan membentuk masyarakat desa jaman dulu. Anak-anak sekarang takkan mengenal –yang paling sederhana saja- permainan gundu ataupun gobak sodor,sebab mereka telah teralihkan pada dunia konsep yang maya. Posmodern membentuk diri mereka menjadi antisosial dan tidak melihat realitas di lingkungannya. Akibatnya anak cenderng tidak peka terhadap sekelilingnya. Seni Kampung ingin merubah itu dengan kembali pada yang lama.
                Kegiatan yang dilaksanakan di kecamatan Mejobo tepatnya di desa Golantepus itu,berlangsung semarak oleh kehadiran dari berbagai elemen masyarakat. Acara dimeriahkan tarian-tarian tradisional,pembacaan puisi,dan seni musik dari taman kanak-kanak,sekolh dasar dan kalangan muda dengan klimaks yang riuh pada penampilan Ali Reggae dan kawan-kawan.
                Kesenian di kampung seharusnya lebih menitikberatkan kepada kampung itu mempunyai seni apa untuk ditampilkan tapi masih pada koridor kebudayaan lama bukan budaya modern sekarang. Jika anak-anak ingin menari ala artis luar negeri yang mereka dambakan,dapatlah diberi pengarahan bahwa tarian semacam itu tidak memberikan faedah apapun bagi penontonnya,sebab itu bukan budaya kita. Meski akan terkesan egois dan monoton,untuk mengembalikan budaya yang dulu ada,tapi bukankah itu inti dari kesenian kampung?
                Jika ingin terus menggalakkan seni kampung diharapkan para pelaku budaya dari komunitas yang bersangkutan dapat konsisten menjaga visinya,agar nantinya tidak terkesan sebagai hiburan malam minggu belaka atau acara yang tak ada faedahnya. Jika konsennya pada pengembalian budaya,maka seni yang ditampilkan mesti berbudaya yang sifatnya mendidik. Seni yang dipagelarkan di balai desa Golantepus itu pada segmen pertama sudah memperlihatkan budaya tradisional yaitu tarian-tarian yang diperagakan anak-anak,geguritan,dan puisi.
Panitia penyelenggara Seni Kampung,Sholichudin Al-Gholany membuka dengan pidato,bahwa Seni Kampung diadakan dari rakyat untuk rakyat;bebas politik namun asyik dengan konsep sederhan serawung sedulur. Acara ini digerakkan oleh para pegiat seni muda Kudus yang peduli akan budaya dan kesederhanaan diantaranya dari komunitas Lah dan komunitas sastra jeNang.
                Penampilan penyair seperti Sholichudin Al-Gholany,Ullyl Ch,Arafat AHC,Arif Rahman meskipun telah meriah,namun belum begitu maksimal dengan penampilan musikalisasi puisi. Karena pengumuman pagelaran hanya diumumkan lewat jejaring sosial facebook,sehingg pelau budaya yang datang hanya segelintir saja diantaranya Puji Pistols dan beberapa sastrawan lainnya.

Laporan dari Bagus Burham, kepala suku komunitas sastra jeNang.