Selasa, 11 Agustus 2015

Mendaki Kesedihan

sajak: Bagus Dwi Hananto, komunitas sastra Jenang


bagai hujan tak berhenti menempuh jatuh ke dunia
mataku meneteskan kesedihan hingga engkau berpaling
menemukan lobang gelap nan dalam di hati aku
tak dapat dicegah lagi oleh masa lalu kesekian percintaan

oleh panggilan bisu namaku yang tenggelam di hatimu
kesedihan hanya butuh dimengerti sebagai mataair
membelah dirinya ribuan kali hingga engkau ada di sana:
mengucap perpisahan, menertawakan ingatan
ingatan yang berbicara tentang hujan di hitam dadaku

lihatlah seseorang mati berkali-kali diceburkan kata-katanya!
tanpa kehendak, seakan takdir membawa aku ke dasar
menyelami sungai-sungai pucat dimana opelia mengapung
dan membekap tubuh aku, kesedihan abadi ribuan tahun
seperti sendiri memanggul dosa berulang kali. seperti sisifus
yang tak diampuni oleh kelalaiannya: itulah kesalahan cinta



2014




Sebuah Cerpen James Joyce

Araby


oleh: James Joyce


Jalan North Richmond, sebuah jalan buntu, adalah jalan lengang kecuali pada waktu Sekolah Christian Brothers memulangkan para siswanya. Sebuah rumah lantai dua tak berpenghuni berdiri di ujung jalan buntu, terpisah dari tetangga sekeliling di petak itu. Rumah- rumah lain di jalan itu, mencerminkan hidup yang layak di dalamnya, berhadapan satu sama lain dengan muka kecoklatan.

            Penyewa rumah kami terdahulu, seorang pendeta, menghembuskan napas terakhir di belakang ruang tamu. Udara , pengap dari rumah yang telah lama tertutup, mengambang di seluruh ruangan, dan di belakang tempat sampah dapur itu berserakan dengan kertas yang sudah lama tidak berguna. Di antaranya aku menemukan beberapa buku bersampul dengan halaman-halaman melengkung dan basah: The Abbot, oleh Walter Scott, The DevoutCommunnicant dan The Memoirs of Vidocq. Aku suka yang terakhir karena kertasnya kuning. Kebun belakang rumah ditumbuhi pohon apel dan semak-semak dan di bawah salah satunya aku menemukan pompa-sepeda berkarat. Dia telah menjadi pendeta yang sangat dermawan; dalam wasiatnya ia telah mewakafkan semua uangnya pada institusi dan perabotan rumah untuk adiknya.

            Ketika hari-hari pendek musim dingin datang, senja angslup sebelum kami menyelesaikan makan malam kami. Ketika kami bertemu di jalan, rumah-rumah nampak kian suram. Langit luas di atas kami adalah warna yang selalu berubah ungu dan ke langit itu lampu jalan memendarkan cahaya pucatnya. Udara dingin menyengat kami dan kami bermain sampai tubuh kami menghangat. Teriakan kami bergema di jalan lengang itu. Selama bermain kami melewati jalur berlumpur gelap di belakang rumah-rumah tempat kami berlari dari serangan suku kasar dari pondok,  menuju pintu belakang yang berada di  taman gelap berbau busuk meruap dari corong abu, ke kandang berbau tempat seorang kusir merapikan dan menyisir kuda sembari mengguncangkan suara dari tali kekang yang melengkung. Ketika kami kembali ke jalanan, cahaya dari jendela dapur telah menerangi komplek itu. Jika pamanku terlihat berbelok ke sudut jalan, kami bersembunyi di sepanjang bayangan rumah sampai kami melihatnya telah sampai di rumah dengan aman. Atau jika saudari Mangan yang keluar di depan pintu untuk memanggil saudaranya minum teh, kami cuma mengawasinya di bayan-bayang tempat kami sembunyi naik dan turun jalan. Kami menunggu untuk melihat apakah dia akan tinggal di luar atau masuk dan, jika dia tetap, kami meninggalkan persembunyian dan berjalan ke arah jenjang tangga rumah Mangan dengan lega. Dia sedang menunggu kami, sosoknya terpancar kala sinar dari pintu yang setengah terbuka. Saudaranya selalu menggodanya sebelum ia masuk ke rumah dan aku berdiri di jenjang tangga, menatapnya. Gaunnya berayun saat ia menggerakkan tubuhnya dan pita rambutnya menggelora perlahan-lahan.

            Setiap pagi aku berbaring di lantai di ruang tamu depan mengawasi pintunya. Kutarik gorden sampai menutupi dan tersisa satu inci dari bingkai sehingga aku tidak terlihat. Ketika dia keluar di depan pintu, hatiku melompat. Aku berlari ke beranda,kuambil buku-bukuku dan mengikutinya. Aku terus ikuti sosok cokelat itu selalu di mataku dan, ketika kami mendekat dalam titk tempat kami menyimpang, aku  mempercepat langkahku dan melewatinya. Hal ini sering terjadi setiap pagi. Aku tidak pernah berbicara dengannya, kecuali untuk kata-kata santai sedikit, namun namanya seperti panggilan kepada segenap  jiwaku.

Bayangnya menemaniku selalu bahkan di tempat-tempat yang paling tak berkesan romantis. Pada tiap Sabtu malam ketika bibiku pergi berdagang, aku harus pergi membawa beberapa hadiah. Kami berjalan melalui jalan-jalan benderang, berdesak-desakan dengan laki-laki mabuk dan wanita yang sedang tawar menawar, di tengah umpatan para buruh, litani melengking anak laki-laki penunggu toko yang berdiri menjaga buah-buahan, nyanyian penyanyi jalanan yang menyanyikan datang-semuanya- lagu O'Donovan Rossa, atau balada tentang masalah di tanah kelahirannya kami. Suara-suara ini berkumpul di satu sensasi hidup bagiku: Aku membayangkan bahwa aku menyunggi piala misa berdesakan melalui kerumunan musuh. Namanya muncul di bibirku pada saat doa-doa aneh dan pujian dilantunkan yang aku sendiri tidak mengerti. Mataku sering penuh air mata (aku tidak tahu mengapa) dan pada waktu bah dari hatiku sepertinya tercurahkan keluar dadaku. Aku pikirkan sedikit masa depan. Aku tidak tahu apakah aku akan pernah berbicara dengannya atau tidak, atau jika aku berbicara kepadanya, bagaimana aku bisa menceritakan kekaguman yang membingungkan ini. Tapi tubuhku seperti kecapi dan kata-katanya dan gerak tubuh yang seperti jari-jari yang memetiknya.

            Suatu malam aku pergi ke belakang ruang tamu di mana pendeta itu telah meninggal. Itu adalah malam yang gelap dan hujan menyisakan sunyi di rumah. Melalui salah satu panel yang rusak aku mendengar hujan luruh ke bumi, jarum sengitnya tak berhenti menghunjam ke permukaan yang basah. Beberapa lampu di kejauham atau jendela yang terang berpendar di hadapanku. Aku sangat bersyukur bahwa aku bisa sempat sedikit melihatnya. Semua inderaku tampaknya berkeinginan untuk menutupi diri mereka sendiri dan, merasa bahwa aku akan menyelinap dari mereka, aku menekan telapak tanganku bersama-sama sampai mereka gemetar, dan bergumam: "Oh cinta! Oh cinta! "Berkali-kali.

            Akhirnya dia berbicara kepadaku. Ketika dia mengatakan kata-kata pertama padaku aku sangat bingung sebab aku tidak tahu harus menjawab apa. Dia bertanya apakah aku akan pergi ke Araby. Aku lupa apakah aku menjawab ya atau tidak. Ini akan menjadi pasar malam yang berkesan, dia bilang dia ingin pergi.

"Dan mengapa kamu tak datang?" Aku bertanya.

Sementara ia berbicara ia memutar-mutar gelang perak di pergelangan tangannya. Dia tidak bisa pergi, katanya, karena akan ada retret minggu di biaranya. Saudaranya dan dua anak laki-laki lainnya yang berkelahi untuk topi mereka dan aku sendirian di jenjang tangga rumahnya. Dia memegang salah satu ujung pagar rumah, menundukkan kepalanya ke arahku. Cahaya dari lampu yang menentang pintu kami menangkap lipatan putih lehernya, menyala legam rambutnya yang berdiam di jenjang leher itu dan, jatuh, menerangi tangannya di ujung pagar rumah. Tangan itu jatuh di salah satu sisi gaunnya dan menyentuh putih rok dalamnya, hanya terlihat saat ia berdiri tenang.

"Malam itu pasti menyenangkan untukmu," katanya.
"Jika aku datang," kataku, "Aku akan membawakan sesuatu."

Betapa kebodohan tak terhitung mengganggu terjaga dan tidurku setelah malam itu! Aku berharap dapat memusnahkan kebosanan yang menyusup dalam hari-hariku. Aku mengabaikan tugas-tugas sekolah. Pada malam hari di kamar tidurku dan siang hari di dalam kelas bayang-bayangnya datang di antara lembar halaman yang sedang kubaca. Suku-suku kata Arabyberdengung kepadaku melalui keheningan dimana jiwaku sedang menikmati dan menangkap pesona ketimuran di atas kepalaku. Aku meminta izin untuk pergi ke pasar malam pada Sabtu malam. Bibiku terkejut dan berharap itu bukan untuk urusan persekutuan Freemason. Aku menjawab beberapa pertanyaan di kelas. Aku melihat wajah guruku mulai dari ramah dan berubah jadi  tegas; dia berharap aku tidak mulai melamun. Aku tidak dapat memanggil pikiranku yang tengah mengembara kemana-mana. Aku hampir tidak sabar dengan tugas hidup yang serius, yang saat ini berdiri di antara raga dan keinginanku,yang tampak bagiku sekadar permainan anak-anak, permainan anak-anak yang menjenuhkan.

Pada hari Sabtu pagi aku mengingatkan pamanku bahwa aku ingin pergi ke pasar malam di malam hari. Dia rewel di samping kapstok baju, mencari sikat topi, dan menjawab pernyataanku:
"Ya, bocah, aku tahu."

Saat ia berada di ruang tamu aku tidak bisa masuk ke ruang depan dan berbaring di dekat jendela. Aku meninggalkan rumah dalam humor yang buruk dan berjalan perlahan menuju sekolah. Udara sangat buruk dan hatiku mulai was-was.

Ketika aku datang ke rumah untuk makan malam pamanku belum tiba ke rumah. Saat itu masih sangat pagi. Aku duduk menatap jam untuk beberapa waktu dan. ketika detak detiknya mulai menggangguku, aku meninggalkan ruangan. Aku menaiki tangga dan mencapai loteng. Ruangan yang dingin dan suram membebaskan aku melenggang sepuasnya dari ruang demi ruang sambil bernyanyi. Dari jendela depan aku melihat teman aku sedang bermain di jalanan. Pekikan mereka mengacaukan pikiran dan kemudian melemah hingga tidak jelas dan, bersandar dahiku pada kaca dingin, aku memandang rumah yang gelap di mana dia tinggal. Aku mungkin telah berdiri di sana selama satu jam, tanpa melihat apa-apa selain sosok kecokelatan yang dihadirkan oleh imajinasiku, tersentuh perlahan-lahan oleh cahaya lampu pada lipatan lehernya, pada tangan yang menyentuh pagar dan bagian bawah gaun itu.

Ketika aku datang turun lagi aku mendapati Nyonya Mercer duduk di dekat pediangan. Dia adalah seorang wanita tua cerewet, janda pemilik rumah, yang mengumpulkan perangko bekas untuk beberapa tujuan yang saleh. Aku harus menahan diri untuk gosip denganya di meja makan.Perjamuan telah ditunda lebih dari satu jam dan pamanku masih belum datang. Nyonya Mercer berdiri untuk pergi: ia menyesal bahwa dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi, pada saat itu jam menunjukkan pukul delapan lebih dan dia tidak ingin terlambat karena udara malam yang buruk baginya. Ketika ia pergi aku mulai berjalan naik dan turun ruangan, mengepalkan tanganku. Bibiku mengatakan:

"Aku takut kau mungkin akan menunda menuju pasar malam pada malam ini."

Pukul sembilan aku mendengar pamanku membuka kunci di pintu depan. Aku mendengar dia berbicara sendiri dan kudengar goncangan tongkat gantungan jas saat menerima beban mantel. Aku dapat menafsirkan tanda-tanda ini. Ketika kami makan malam, aku memintanya untuk memberiku uang untuk pergi ke pasar malam. Namun paman lupa.

"Orang-orang saat ini sudah di kasur mereka dan setelah itu kini mereka tidur," katanya.

Aku tidak tersenyum. Bibiku mengatakan kepadanya penuh semangat:
"Tidak bisakah kau memberinya uang dan membiarkan dia pergi? Kau telah membuatnya cukup terlambat seperti itu. "

Pamanku mengatakan dia sangat menyesal bahwa dia lupa. Paman mengatakan ia percaya pada pepatah lama: "Terus belajar dan tanpa bermain membuat Jack jadi anak yang membosankan". Dia bertanya padaku ke mana aku akan pergi dan, ketika aku mengatakan kepadanya untuk kedua kalinya dia lalu bertanya padaku apakah aku tahu Salam Perpisahan gaya Arab pada Kudanya. Ketika aku meninggalkan dapur ia hendak memulai membaca bagian pembuka kutipan itu kepada bibiku.

Aku memegang uang koin dengan erat di tanganku sambil melangkah ke Buckingham Street menuju stasiun. Jalan-jalan penuh sesak dengan pembeli dan menyilaukan dengan gas asap yang membawa balik ingatanku pada tujuan perjalananku. Aku mengambil tempat duduk di gerbong kelas tiga dari kereta yang sepi. Setelah penundaan yang tak tertahankan kereta bergerak dari stasiun dengan perlahan. Kereta merayap maju di antara rumah-rumah yang rapuh dan melewati Sungai yang airnya berkelap-kelip. Di Westland Row Station kerumunan orang saling dorong di pintu kereta; tapi penjaga memindahkan mereka kembali, mengatakan bahwa itu adalah kereta khusus untuk pasar malam. Aku tetap sendirian di kereta yang lengang. Beberapa menit kemudian kereta melaju di atas jalanan kayu yang tiba-tiba. Aku melonggokkan kepalaku pada saat kereta melaju dan melihat sekilas jam sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang sepuluh menit. Di depanku berdiri sebuah bangunan besar yang terpampang nama anehnya.

Aku tidak menemukan pintu masuk dengan harga karcis enam penny dan, takut pasar akan segera tutup, aku melewati dengan cepat melalui sebuah pintu putar, menyerahkan uang shilling kepada seorang pria yang tampak kumal. Aku menemukan diriku berada di aula besar yang setengah tingginya dipenuhi oleh galeri. Hampir semua kios ditutup dan sebagian besar dari lorong itu dalam kegelapan. Aku merasakan keheningan seperti itu melingkupi gereja setelah kebaktian. Aku berjalan ke tengah pasar malam dengan takut-takut. Beberapa orang berkumpul sekitar warung yang masih terbuka. Di hadapan tirai, di bawah kata-kata Cafe Chantant yang ditulis dalam lampu berwarna, dua orang sedang menghitung uang di sebuah talam. Aku mendengarkan jatuhan koinnya.

Mengingat dengan susah payahnya aku datang ke pasar malam lantas akupergi ke salah satu kios dan mengamati vas-vas porselen dan nampan the berbunga. Di pintu kios seorang wanita muda sedang berbicara dan tertawa dengan dua pria muda. Aku mengetahui aksen Inggris mereka dan mendengar samar-samar percakapan mereka.

"Oh, aku tidak pernah mengatakan hal seperti itu!"

"Oh, tapi kau!"

"Oh, tapi aku tidak!"

"Apakah dia tidak mengatakan itu?"

"Ya. Aku mendengarnya. "

"Oh, itu. . . dusta! "

Ketika melihat aku wanita muda itu lalu datang dan bertanya apakah aku ingin membeli sesuatu. Nada suaranya tidak menggembirakan; ia tampaknya berbicara kepadaku karena dari tanggung jawab tugasnya. Aku melihat dengan kagum pada guci besar yang berdiri seperti penjaga Timur di kedua sisi pintu masuk gelap kios dan bergumam:

"Tidak, terima kasih."

Wanita muda itu mengubah posisi dari salah satu vas dan kembali ke dua pemuda tadi. Mereka mulai berbicara tentang subjek yang sama. Sekali atau dua kali wanita muda melirikku dari bahunya.

Aku berlama-lama di kiosnya, meskipun aku tahu keberadaanku di sini tidak berguna, untuk membuat minatku dalam barang-barangnya tampak lebih nyata. Lalu aku berbalik perlahan dan berjalan di tengah pasar malam. Aku membiarkan dua sen jatuh berjejalan di atas enam pence di sakuku. Aku mendengar panggilan suara dari satu ujung galeri yang lampunya padam. Bagian atas dari lorong itu sekarang benar-benar gelap.

Menatap ke dalam kegelapan aku melihat diriku sebagai makhluk didorong dan dicemooh oleh kesombongan; dan mata terbakar dengan penderitaan dan kemarahan.



Biodata Pengarang : James Joyce, lahir di Rathgar, kota Dublin, Irlandia, pada  Februari 1882. Karya-karyanya yang terkenal antara lain novel A Potrait of the Artist as a Young Man (1916), Ulysses (1922), kumpulan cerpen Dubliners (1914) dan yang dikerjakannya berpuluh tahun: Finnegans Wake (1939).

diterjemahkan secara bebas oleh Bagus Dwi Hananto (dikenal pula dengan nama Bagus Burham) dari
https://ebooks.adelaide.edu.au/j/joyce/james/j8d/chapter3.html