Suami-istri itu bergerak menjauhi gerbang, sekarang malah menuju tempatku bersantai. Semakin dekat, mereka tampak seperti orang-orang yang sungguh harus diberi perhatian. Wajah sang Suami memang tampan,tapi ada sebuah lubang hitam besar di atas dahinya. Seakan itublack hole di angkasa. Sementara sang Istri memang biasa saja tapi yang ganjil dari tubuh kurusnya adalah sepasang buah dada sebesar semangka,yang terkesan ia memikul berat yang tak sesuai dengan daya tubuhnya.
Angin membawa debu dan terik menyengat. Untungnya sebatang pohon besar tempatku bersandar menaungi tubuhku dari panas. Siang yang sungguh panas. Pasangan tadi sudah sampai di depanku. Tiba-tiba berkata, “Kau sudah berapa lama di sini?” kata si Suami.
Aku hanya menjawab, barusan saja. Orang itu terus menatapku. “Apa yang kau lihat?” ia bertanya lagi. Aku bilang bukan apa-apa. Sebenarnya memang benar, aku melihat dada istrinya yang tidak proporsional dengan tubuh kecilnya.
Suara keras mobil saling menubruk terjadi selang beberapa menit kami berdiam tanpa kata. Di depan kami, angkutan warna putih dengan sedan. Para penumpang angkutan turun dan pindah lain angkutan. Pengendara sedan itu marah-marah dengan kata-kata awut-awutan yang menyerambul dari mulutnya. Pengemudi angkutan hanya terdiam. Dan di langit sepasang piring terbang lewat sebegitu cepatnya sampai sekedip mata sudah lenyap.
Aku tidak beranjak dari tempat santaiku. Begitu pula Suami-Istri yang masih saja berdiri di depanku. Si Istri dari tadi hanya diam dan si Suami dengan mata jelalatan terus mengamatiku. Edan! Apa yang ia inginkan?
***
Aku tersadar. Tempat ini gelap dan hanya terdiri dari beberapa jendela dan kipas angin menggantung. Tanganku terikat dan mulutku diplester. Aku menjerit sekuat-kuatnya tetapi hanya terdengar gumaman saja. Dari kegelapan di depanku, suara derap kaki orang lebih dari satu semakin mendekat. Kurang ajar! Ternyata sepasang Suami-Istri tadi. Dengan senyum aneh tersungging di wajah si Suami, ia menenteng kerahku erat-erat. “Katakan, apa yang kamu ketahui?” katanya. Perasaanku bingung. Apa yang kuketahui? Aku tidak tahu. Aku tadi hanya duduk bersantai di bawah sebuah pohon, mengamati mobil yang lewat, dan menyaksikan kecelakaan. Apa yang kuketahui?
Ia melepas penutup mulutku. Sekali lagi bertanya tentang apa yang kuketahui. Aku menjawab tidak tahu apa-apa. Sekali lagi ia bertanya apa yang kuketahui. “Aku tidak tahu apa yang kau maksud dengan apa yang kuketahui.”
“Apa yang kau ketahui? Jelas, katakan!” pertanyaan si Suami terus membentur telingaku.
“Aku tidak tahu apapun. Aku tadi hanya bersantai di bawah pohon. Kumohon lepaskan aku…”
Dengan pentung hitam seperti yang dimiliki satpam-satpam, si Suami memukuliku lantas bertanya seperti tadi. Aku tidak bisa menjawab. Apa yang kuketahui dan apa yang ingin dia tahu tentang yang kuketahui sementara aku tidak menahu apa maksudnya.
Edan! Tiba-tiba dari sepasang buah dada si Istri keluar orang-orang kecil seukuran jari tengah. Sekitar sembilan orang kecil keluar dan seakan balon udara yang sudah turun dan mengempis, buah dada itu menyusut dan lenyap. Kini aku tidak harus memikirkannya. Yang selanjutnya adalah apa orang kecil itu?
Orang-orang kecil memutariku, serentak bertanya seperti si Suami tanyakan tadi. Pikiranku kacau melihat orang-orang kecil seakan aku adalah pusat ritual dari upacara yang mereka adakan. Di pikiranku terlintas semua hal yang kusaksikan pagi ini sebelum akhirnya bersantai di bawah pohon pada siang yang terik : seorang gadis dengan lekuk tubuh yang bagus di kantor pos, seorang nenek dengan kebungkukan yang mengibakan hati di tepi jalan, mobil-mobil, bayi dalam kulkas di sajak Joko Pinurbo, botol-botol tak terpakai menuju penggilingan jadi biji plastik hingga dua piring terbang melintas cepat di langit, sepasang suami-istri dengan kejanggalan dan tempat di mana aku kini berada.
Aku tidak tahu apapun.
***
“Mobil-mobil yang kuamati! Itulah yang kuketahui.”
“Apa yang kau ketahui?” masih pertanyaan yang sama si Suami terus mendesakku.
“Hanya itu. Aku tidak tahu apapun.”
Dan kehidupan terus berjalan. Di tempat penyekapan ini aku tidak tahu apapun. Orang-orang kecil, si Suami dan si Istri dengan dada yang hilang. Terus-menerus menyiksaku. Yang dilakukan orang-orang kecil masih tetap sama, tanpa berhenti, tanpa jeda: memutariku seakan aku adalah pusat ritual. Apakah ini malam, ataukah siang, aku tidak tahu. Yang kutahu hanyalah usaha untuk menjawab pertanyaan si Suami tentang apa yang kuketahui.
Aku ingin memecahkan kepalaku saja. Meledak dan tidak ada! Kurang ajar!
Orang-orang kecil tak bertambah besar. Semenjak keluar dari buah dada semangka itu, mereka hanya terus memutariku. Bentuk mereka sama semua. Dengan topi kerucut warna hijau dan wajah suram plus senyum aneh seperti yang dipunyai si Suami. Mereka memutariku terus-menerus. Seperti robot yang patuh pada perintah majikannya. Semenjak aku disekap,si Istri tidak pernah berbicara hanya terus menyiksaku secara brutal. Kelaparan, kehausan, rasa ingin kencing dan berak, tidak kurasakan. Seperti sebuah keabadian atau adegan yang diulang-ulang tentang apa yang telah kuketahui yang ingin si Suami ketahui. Aku tidak merasakan apapun selain rasa sakit dan menyerah dari siksaan pertanyaan dan pemukulan yang dilakukan.
***
Aku terbangun dengan kepala pening dan sekujur tubuh sakit bukan main. Masih dengan tali yang mengikat, aku tertinggal sendiri di ruang hampa ini. Orang kecil dan Suami-Istri tadi barangkali meninggalkanku untuk bernafas sejenak dan bersiap mendapat siksaan atas apa yang kuketahui padahal semua jawabanku sudah jujur kukatakan pada mereka bahwa: aku tidak tahu apa-apa tentang apa yang ingin mereka ketahui.
Kuurutkan kejadian lampau yang kuamati. Entah sudah berapa lama aku disini. Seperti manusia gua dengan bulu lebat di wajah, dan pakaian compang-camping, aku mendekam dalam keabadian penyiksaan.
Mungkin kata-kata mereka kepada penjaga yang kudengar -- “pembunuh” , “edan” , “kupecahkan kepalamu” – adalah yang kutahu akan kusampaikan, bahwa hipotesisku adalah mereka ingin menuntut balas pada penjaga gedung tua yang kuamati itu. Kematian apapun yang ingin mereka balaskan. Tapi mengapa mereka hanya berteriak-teriak dengan patung penjaga gedung yang sudah terkelupas catnya itu, aku tidak tahu. Sebuah patung berdiri tegak seolah menunggu dengan khidmat gedung tua dari waktu ke waktu.
Atau sepasang piring terbang yang melintas. Mereka ketinggalan. Mereka adalah alien? Bumi mereka dihancurkan sekarang ingin menghancurkan bumiku? Lalu apa yang harus kukatakan tentang piring terbang itu. Aku harus bersaksi bahwa aku melihat pesawat mereka dan mereka menyuruhku untuk bungkam. Maka dengan senang hati aku akan bungkam. Lepaskan aku. Aku akan diam selamanya seolah tidak melihat apa-apa.
Kepalaku digodam pertanyaan itu berkali-kali. Pusing dan denging memukul-mukul telingaku seperti ingin menerobos gendang telinga dan mengoyak syaraf-syaraf di dalamnya. “Apa yang kau ketahui? Apa yang kau ketahui?” Pertanyaan gila yang menyiksaku.
Dari jauh lorong tempatku disiksa, gaung pertanyaan itu muncul lagi. Dan sosok yang sudah akrab, datang menjemput korbannya.
“Apa yang kau ketahui?” si Istri tanpa dada, membuatku takjub dengan kalimat pertama yang diucapkannya kali ini.
Orang kecil berhamburan dari arah lorong, ikut menanyaiku. Peluru-peluru pertanyaan menembaki telinga dan otakku. Seperti hujan mengetuk kaca dengan intensitas yang deras dan lama, pertanyaan tersebut mengucur tanpa jeda. Sampai aku tak bisa menjawab. Aku terdiam, mendekam dalam sakit siksaan.
“Ini pistol, dengan peluru pertanyaan yang harus kami tembakkan kepadamu.” Sambil menunjuk mulutnya dengan jari tengah, seakan mengerti isi hatiku, si Suami menegaskan untuk mengorek pikiranku tentang apa yang kuketahui.
Hujan pertanyaan sudah berhenti. Kini mereka menungguku untuk menjawab.
Sambil kesusahan aku menjawab pertanyaan mereka. “Kalian menyuruhku bungkam tentang piring terbang yang mencari kalian melintas di langit. Kalian sepasang alien dengan robot-robot mini. Itulah yang kutahu.”
“Bukan.Bukan itu. Apa yang kau ketahui?” ulang lagi pertanyaan si Suami.
“Bukan? Berarti pasti patung penjaga gedung yang membunuhsesuatu milik kalian? Itulah yang kutahu,” jawabku.
“Tidak.Tidak itu.Apa yang kau ketahui?” kembali si Suami bertanya padaku.
Bukan piring terbang ataupun penjaga gedung. Lantas apa lagi. Aku tidak tahu apapun. “Kumohon lepaskan aku. Aku akan diam saja tentang kalian dan mahluk aneh kalian.” Airmataku berlelehan, merengek seperti bocah yang selalu menangis dan tidak dipedulikan siapapun.
“Tidak bisa,” si Istri mulai berkata lagi.
***
Kehampaan dan kegelapan bersatu dengan samar cahaya di ruang ini. Sendirian dan kian menyusut untuk dilupakan, aku terus hidup dalam kesakitan.
Aku hanya mampu meronta dan berteriak sekuat-kuatnya. Mungkin saja dengan berteriak orang lain entah di mana sanggup mendengar teriakanku dan mulai mencari diriku. Pemukulan terus mereka lakukan terhadap tubuh ini. Aku pingsan kembali tersadar, pertanyaan yang sama; penyiksaan yang sama. Berulang-ulang dengan tujuan mengorek informasi tentang apa yang kutahu. Sungguh padahal aku tak tahu apapun.
“Apa yang kau ketahui?” tanya si Suami, tersenyum licik dengan semangat ingin menyiksa lagi.
Aku membisu. Menatap balik dengan senyum licik menuju kematian yang tidak kutahu kapan, tapi pasti datang ke sini. []